Dalam dunia rekrutmen, banyak perusahaan yang mulai menggunakan tes psikotes kerja sebagai penerimaan kandidat karyawan. Dilansir dari Harvard Business Review, sekitar 76% perusahaan besar mengandalkan tes asesmen seperti psikotes.
Namun, tes seperti psikotes tidak bisa menjadi faktor utama untuk mengevaluasi kemampuan dan potensi karyawan. Tes tersebut juga tidak dapat disamaratakan untuk semua pekerjaan. Sayangnya, banyak sekali psikotes yang relatif satu sama lain.
Sebab itu, artikel ini akan menjelaskan tentang mengapa tes tersebut perlu dikritisi, dan bagaimana penilaian kandidat dilakukan. Jangan sampai tes asesmen ini menyaring potensi kandidat yang sebenarnya lebih baik daripada yang terpilih.
Tidak Ada Tes yang Sempurna
Ketika membahas tentang tes psikotes online, maka ada yang namanya reliabilitas dan validitas. Menurut Geisinger (2013), reliabilitas merupakan tingkatan untuk membuat hasil percobaan tes memiliki nilai konsisten.
Ketika psikotes memiliki nilai reliabilitas tinggi, namun bukan berarti hasil dari tes tersebut valid. Inilah mengapa sejujurnya, tes ini belum mampu memberikan gambaran lengkap tentang kemampuan, potensi, dan kepribadian kandidat.
Contohnya, mari ambil tes psikotes gambar pohon, atau yang dikenal dengan Baum/Tree Test. Tes ini dikembangkan untuk menilai kepribadian seseorang, berdasarkan bentuk tiap bagian pohon yang digambarkan.
Namun, tes ini tidak mampu menjelaskan dengan lengkap mengapa kepribadian seseorang dinilai dengan bentuk bagian pohon tertentu. Bisa saja kandidat membuat bentuk pohon yang berbeda, hanya karena tidak memiliki keahlian menggambar.
Dilansir dari The Classroom, psikotes juga memiliki batasan yang dapat membuat interpretasi yang berbeda dengan semestinya. Selain kesalahan interpretasi, ada berbagai kelemahan tes psikotes kerja online, yakni seperti:
- Faktor subjektivitas pada tes. Tes asesmen seperti psikotes dapat memberikan penilaian subjektif terhadap potensi kandidat. Hal ini dikarenakan tes lebih menanyakan tentang pandangan kandidat dibandingkan tes objektif.
- Kurang relevannya tes dengan pekerjaan. Contohnya seperti Myers-Briggs Type Indicator (MBTI), dimana tes tersebut dikhususkan untuk development dan training. Menggunakan tes MBTI untuk seleksi karyawan akan memberikan hasil yang kurang tepat sasaran.
- Hasil tes yang tidak akurat. Saat ini, banyak sekali beredar tes psikotes kerja dan jawabannya di berbagai situs yang mudah diakses. Hal ini dapat membuat kandidat memalsukan jawaban ketika sedang mengerjakan tes tersebut.
- Tes dapat tidak menyarankan kandidat yang ideal. Banyak orang yang berpikir di luar kotak untuk menghadapi suatu tes. Karakteristik tersebut dapat memberikan hasil tes yang dinilai tidak sesuai, sehingga kandidat dapat tidak diterima.
Tes Psikotes Dapat Menimbulkan Diskriminasi
Sekitar 80% perusahaan "Fortune 500" di Amerika Serikat, telah menggunakan tes psikotes kepribadian dalam menyaring kandidat. Namun, hal tersebut dapat menjadi momok bagi penyandang disabilitas.
Pasalnya, untuk kandidat dengan disabilitas tertentu (seperti bipolar, OCD, dan depresi akut), psikotes dapat membuat mereka didiskualifikasi secara tidak adil. Diskriminasi ini terjadi, saat kandidat menghadapi tes yang mengetes emosional.
Selain itu, tes seperti DiSC, dianggap memberikan tes dengan hasil yang tidak setara dengan pekerja perempuan di Amerika. Sejak diciptakan pada tahun 1928 oleh psikolog William Moulton Marston, dirancang untuk tes asesmen.
Sejak tes tersebut digunakan, hanya kurang dari ¼ total wanita Amerika yang menjadi tenaga kerja di perusahaan. Setelah tes tidak digunakan, kini sekitar 47.3% persen dari seluruh tenaga kerja di Amerika Serikat adalah wanita.
Sebab itu, American with Disabilities Act (ADA) telah melarang adanya diskriminasi ruang kerja pada basis disabilitas. Hal tersebut bukan berarti tes psikotes adalah tes yang tidak diperbolehkan. Asalkan, setiap kandidat mendapat perlakuan setara.
Selain diskriminasi, tes psikotes dan jawaban yang diberikan dapat mengacu ke stereotip. Tes-tes ini tidak terlalu dapat diandalkan atau terbukti efektif ketika memilih kandidat yang berkualitas. Terutama, saat proses rekrutmen, seleksi, dan evaluasi.
Di Indonesia, hal ini sudah ditegaskan pada UU Ketenagakerjaan No. 13/2003 pasal 5. Disebutkan bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan kesempatan pekerjaan tanpa diskriminasi. Kesimpulannya, kedua masalah tersebut layak untuk dikritik.
Alternatif Penilaian Kandidat
Meski tes psikotes dianggap membantu perusahaan untuk memilih kandidat, cara tersebut bukanlah satu-satunya cara untuk mengevaluasi kandidat. Ada banyak hal yang perlu dipertimbangkan dari psikotes, sebelum digunakan dalam rekrutmen.
Sebab itu, ada berbagai aspek alternatif yang dapat memberikan gambaran lebih akurat mengenai kemampuan dan potensi kandidat. Misalnya seperti wawancara, referensi, portofolio, dan pengalaman kerja dari setiap kandidat yang melamar.
1. Wawancara
Dalam rekrutmen, sebagian perusahaan mulai menerapkan wawancara terstruktur (structured interview). Wawancara ini berupa pendekatan sistematis, yang mampu memberikan matrik penilaian bagi perusahaan tersebut.
Berbeda dengan psikotes, pertanyaan dalam wawancara terstruktur sudah berkorelasi dengan kemampuan dan pekerjaan yang dilamar. Wawancara terstruktur juga dinilai dapat memberikan kesempatan yang setara, tanpa adanya diskriminasi.
Dilansir dari CareerBuilder, sekitar tiga dari empat perusahaan yang menempatkan kandidat pada posisi yang salah. Dengan wawancara terstruktur, maka perusahaan dapat mengurangi kesalahan, dan bias hiring yang sering terjadi di rekrutmen.
2. Referensi Kerja
Employment reference atau referensi kerja, dapat menjadi acuan yang akurat dalam menilai kelayakan kandidat. Referensi tersebut dapat berupa mantan kolega atau supervisor yang sudah berpengalaman, untuk mengetes kemampuan kandidat.
Berdasarkan survei Society of Human Resource Management (SHRM), 92% perusahaan melakukan background check kandidat. Hal ini untuk memastikan eligibilitas kandidat, riwayat pekerjaan yang ditekuni, dan tingkat ketenagakerjaan kandidat.
Selain penilaian dari individu, perusahaan juga dapat menilai berdasarkan rekomendasi di situs seperti LinkedIn. Perusahaan akan dapat melihat informasi yang lebih akurat mengenai tiap kandidat, dan pengalaman kerjanya.
3. Portofolio
Dalam menampilkan kemampuan diri, umumnya kandidat melampirkan portofolio kepada HRD saat melamar pekerjaan. Portofolio dapat menjadi sarana bagus, bagi perusahaan untuk menilai kelayakan kandidat.
Namun, hal ini bukan berarti keberadaan portofolio saja sudah cukup. Perusahaan akan perlu menilai berbagai faktor yang ditunjukkan pada setiap portofolio, agar sesuai dengan misi dan visi perusahaan. Adapun aspek yang bisa dinilai yaitu:
- Keahlian (area of expertise) yang dimiliki oleh kandidat.
- Statement personal atau filosofi kandidat, yang menunjukkan tujuan kandidat untuk bekerja di perusahaan.
- Riwayat mengenai pekerjaan yang selama ini dijalani kandidat.
- Edukasi dan training yang didapatkan oleh kandidat sebelum melamar pekerjaan saat ini.
4. Pengalaman Kerja
Faktor yang juga perlu dinilai dari seorang kandidat adalah pengalaman kerja (work experience) yang selama ini dimiliki. Berdasarkan survei Association of Accounting Technician, 49% dari perusahaan melihat pengalaman kerja dari CV kandidat.
Adapun 71% penerima kerja yang melihat pengalaman kerja, mengklaim bahwa kandidat sudah membuktikan kemampuan mereka. Sedangkan itu, 62% dari penerima kerja juga beralasan bahwa kandidat sudah memahami seperti apa dunia kerja.
Maka itu, pengalaman kerja dapat memberikan gambaran yang signifikan terhadap kemampuan kandidat. Faktor kunci ini malah lebih menentukan kualitas seorang kandidat dibandingkan dengan seperti tes psikotes menggambar misalnya.
Setelah penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa tes psikotes tidak dapat menjadi satu-satunya faktor yang menentukan kualitas karyawan. Penerima kerja perlu menilai kandidat dari berbagai aspek alternatif, agar dapat memilih karyawan yang sesuai.
Sebagai perusahaan, penggunaan psikotes dalam proses rekrutmen harus lebih diseleksi dan dikritisi. Baik dari tes psikotes gambar, maupun dalam bentuk statement. Pemilihan kandidat yang baik akan berpengaruh besar dalam kualitas perusahaan.
Memilih kandidat yang baik jangan hanya didasari oleh tes psikotes semata. Anda bisa menggunakan agensi match recruitment untuk memilih kandidat, agar perusahaan Anda memenuhi kebutuhan human capital.